Bappeda Sulbar : Penanganan Stunting Menjadi Prioritas Utama Pemprov Sulbar 2020

Kepala Bappeda Sulbar, Dr. H. Junda Maulana. Foto : Duk. Pena

Mamuju,Penasulbar.co.id – Tingginya prevalensi penderita stunting di Sulbar menjadi prioritas Pemprov Sulbar ditahun anggaran 2020.

Pernyataan itu disampaikan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan  Daerah (Bappeda) Sulbar, DR. H. Junda Maulana saat ditemui di kantornya, Senin (15/12/2019).

Ia menuturkan, Pemprov Sulbar terus berupaya menekan tingginya angka penderita stunting dengan melibatkan sejumlah OPD.

” Isu stunting kita sudah masukan dalam prioritas arah kebijakan pembangunan pemprov Sulbar dan ini dibuktikan pada tahun 2020 kita telah anggarkan melalui beberapa OPD,” pungkas Junda.

Lanjut ia menyampaikan, ada beberapa OPD yang harus terlibat diantaranya, Dinas Ketapang, Pertanian, PU dan Pemberdayaan Perempuan dengan leading sektor Dinas Kesehatan.

Semua OPD tersebut, kata Junda, memiliki peran dan fungsi dalam melakukan intervensi melalui program masing-masing untuk menekan tingginya prevalensi stunting.

“Kita berharap dengan keterlibatan beberapa OPD, Sulbar bisa keluar dari predikat tertinggi penderita stunting,” pungkasnya.

Ia juga mengatakan, dalam merealisasikan semua program, dibutuhkan kondinasi dan sinerjitas dengan pemerintah kabupaten. Posisi Pemprov hanya mengkordinasikan semua rencana aksi baik ke kabupaten maupun ke pemerintah pusat.

“Kita butuh kordinasi yang baik dengan pemerintah kabupaten karen mereka yang terdepan dalam melakukan berbagai program yang kita sudah rencanakan,” imbuhnya.

Untuk diketahui, konvergensi penurunan stunting dilakukan dalam delapan tahap dan untuk Sulbar sendiri sudah menyelesaikan lima tahapan.

Berikut 8 (delapan) aksi penurunan stunting,
1. Analisis Situasi Program Penurunan Stunting
2. Penyusunan Rencana Kegiatan
3. Rembuk Stunting
4. Peraturan Bupati/Walikota tentang Peran Desa
5. Pembinaan Kader Pembangunan Manusia
6. Sistem Manajemen Data Stunting
7. Pengukuran dan Publikasi Data Stunting
8. Reviu Kinerja Tahunan

Berdasarkan data Riset Kesehatan Nasional (Riskesdas) 2018 menunjukkan, 30,8 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Angka ini turun jika dibandingkan data Riskesdas 2013, yakni 37,2 persen.

Ambang batas prevalensi stunting dari WHO mengategorikan angka stunting 20 sampai kurang dari 30 persen sebagai tinggi, dan lebih dari atau sama dengan 30 persen sangat tinggi. Indonesia tidak sendiri. Ada 44 negara lain dalam kategori angka stunting sangat tinggi.

WHO juga mencatat, 60 dari 134 negara masih memiliki tingkat stunting di bawah standar 20 persen. Padahal, stunting adalah indikator kunci kesejahteraan anak secara keseluruhan. Negara-negara dengan angka stunting tinggi merefleksi ketidaksetaraan sosial di dalamnya.

WHO menjadikan stunting sebagai fokus Global Nutrition Targets untuk 2025, juga Sustainable Development Goals untuk 2030. (Ns-01).

Redaktur : Nisan Parrokak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *