Suasana konferensi pers yang dilaksanakan di aula lantai II kantor BPS Sulbar. Foto: Eka Musriang
Mamuju, Penasulbar.co.id – Nilai Tukar Petani (NTP) Sulawesi Barat (Sulbar) Juli 2019 sebesar 113,25 naik 0,22 persen dibandingkan NTP Juni 2019. Seperti halnya bulan sebelumnya, pada Juli 2019, NTP Sulbar masih merupakan yang tertinggi di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Barat (Sulbar), Win Rizal saat menggelar konferensi pers di aula lantai II kantor BPS Sulbar, Kamis (1/8/2019).
“NTP menurut subsektor tercatat untuk subsektor Tanaman Pangan (NTP-P) 101,56; subsektor holtikultura (NTP-H) 118,20; subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (NTP-R) 122,03; subsektor peternakan (NTP-T) 107,72 dan subsektor perikanan (NTN) 111,34,”kata Win Rizal.
Win Rizal mengatakan, hasil pemantauan harga konsumen pedesaan menunjukkan terjadinya deflasi pedesaan di Sulbar pada Juli 2019 sebesar 0,78 persen. Hal tersebut secara umum dipicu oleh indeks harga kelompok pengeluaran bahan makanan yang mengalami penurunan.
“Sementara itu, indeks lainnya yakni indeks harga kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, indeks harga kelompok pengeluaran perumahan, indeks harga kelompok pengeluaran sandang, indeks harga kelompok pengeluaran kesehatan dan indeks harga kelompok pengeluaran pendidikan, rekreasi dan olahraga, serta indeak harga kelompok pengeluaran transportasi dan komunikasi mengalami peningkatan,”ujarnya.
Lanjut ia mengatakan, inflasi di daerah pedesaan terjadi di 18 provinsi di Indonesia, tertinggi di Bengkulu sebesar 1,38 persen dan terendah di Papua Barat Sebesar 0,12 persen. 14 provinsi lainnya mengalami deflasi. Sementara itu, NTT relatif stabil. Sulbar menempati urutan ke 3 dari 14 provinsi yang mengalami deflasi pedesaan.
“Urutan skala nasional, NTP bulan Juli 2019 sebesar 102,63 naik sebesar 0,29 persen dibandingkan bulan Juni 2019 dan mengalami inflasi pedesaan sebesar 0,55 persen,”tutur Win Rizal.
Ia juga mengungkapkan, NTP yang diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani.
“NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani,”pungkas Win Rizal.
“Sejak Desember 2013 dilakukan perubahan tahun dasar dalam perhitungan NTP dari tahun dasar 2017=100 menjadi tahun dasar 2012=100. Perubahan tahun dasar ini dilakukan untuk menyesuaikan perubahan atau pergeseran pole produksi pertanian dan pola konsumsi rumah tangga pertanian di pedesaan, serta perluasan cakupan subsektor pertanian dan provinsi dalam perhitungan NTP, agar penghitungan indeks dapat dijaga ketepatannya,”tambahnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, perbedaan antara NTP tahun dasar 2017=100 dengan NTP tahun dasar 2012=100 adalah meningkatnya cakupan jumlah komoditas baik pada paket komoditas It maupun Ib. Perhitungan NTP (2012=100) juga mengalami perluasan khususnya pada subsektor perikanan.
“Selain NTP perikanan secara umum yang dihitung di 33 provinsi, Nilai Tukar Nelayan (NTN) dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPi) juga disajikan secara terpisah,”tandasnya.
Sementara itu kata Win Rizal, Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib) dimana komponen Ib hanya terdiri dari biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM).
“Dengan dikeluarkannya konsumsi dari komponen indeks harga yang dibayar petani (Ib), NTUP dapat lebih mencerminkan kemampuan produksi petani, karena yang dibandingkan hanya produksi dengan biaya produksinya,”tutup Win Rizal.
(Eka)