Cegah Penyebaran Paham Radikalisme, MUI Kabupaten Mamasa Gelar Dialog

Foto bersama peserta dialog yang digelar MUI Kabupaten Mamasa. Foto : duk. Pena

Mamasa,penasulbar.com – Dalam upaya mencegah penyebaran radikalisme, terorisme, dan kekerasan di kalangan generasi muda, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mamasa menyelenggarakan dialog bertema “Merawat Ukhuwah Islamiyyah dalam Bingkai Cinta Tanah Air di Bumi Kondosapata”, yang berlangsung di Balai Pertemuan Lantang Kada Nene, Kecamatan Mambi.

Kegiatan ini dirancang sebagai forum sosialisasi bagi guru madrasah, tokoh agama, ormas Islam, dan penyuluh agama agar dapat menjadi agen utama dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama dan nasionalisme, baik melalui jalur pendidikan formal maupun kegiatan kemasyarakatan.

Ketua MUI Kabupaten Mamasa, Abdul Hafid, menegaskan bahwa MUI memiliki tanggung jawab moral untuk membina umat melalui dakwah dan edukasi yang menanamkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan cinta tanah air. Ia menyampaikan bahwa pencegahan radikalisme harus dilakukan sejak dini, khususnya melalui kurikulum pendidikan madrasah serta kegiatan keagamaan yang menyasar generasi muda.

“Mamasa dengan keberagamannya justru menjadi potensi besar sebagai model harmoni antarumat beragama. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak, keberagaman ini bisa menjadi celah bagi masuknya paham intoleran,” ujarnya.

Radikalisme, menurut Hafid, kerap muncul dari penafsiran agama yang keliru dan penyebaran informasi yang tidak tervalidasi. Oleh karena itu, ia mengajak para guru, tokoh agama, pimpinan pesantren, dan penyuluh agama untuk menyampaikan narasi keagamaan yang moderat serta menanamkan kecintaan terhadap tanah air sebagai bagian dari iman.

Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Densus 88 AT Polri, Iptu Edi P., menyampaikan bahwa radikalisme tidak mengenal batas agama, suku, atau etnis. Sulawesi Barat—dengan posisinya yang berdekatan dengan daerah rawan seperti Sulsel dan Sulteng—perlu meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat kolaborasi antara aparat dan masyarakat. Ia menekankan pentingnya peran guru dan tokoh agama dalam memantau dan membimbing generasi muda agar tidak terpapar ideologi ekstrem melalui media sosial, pergaulan, atau kegiatan keagamaan yang eksklusif.

Nasrullah alias Ambetika, mantan narapidana terorisme, hadir membagikan pengalaman pribadinya tentang bagaimana konflik antarumat dan pergaulan yang keliru membawanya kepada ideologi kekerasan selama hampir dua dekade. Kini, setelah menjalani masa pembinaan, ia justru menjadi advokat perdamaian dan toleransi. Ia memuji masyarakat Mamasa yang mampu menjaga kerukunan, dan berharap pendekatan damai seperti ini diperluas agar konflik tidak berkembang menjadi kekerasan.

Sementara itu, KH. Munu, S.Pd.I, dari MUI Sulawesi Barat, menegaskan pentingnya membangun ukhuwah islamiyah yang bersifat terbuka. Ia mengajak masyarakat untuk mengganti istilah “kafir” dengan “non-Muslim” dalam komunikasi sosial sebagai bentuk penghormatan, dan menekankan bahwa persaudaraan dalam Islam tidak terbatas hanya pada sesama Muslim, tetapi mencakup sesama warga bangsa dalam semangat kemanusiaan dan kebangsaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *