Benang Kusut Penanganan Stunting di Pedalaman Sulbar

Pemberian makanan tambahan bagi anak stunting di Kecamatan Tabulahan dibawah pendampingan Tenaga Kesehatan Puskesmas Tabulahan. 

MAMASA – Segudang permasalahan menjadi penyebab kasus stunting di pedalaman Sulbar terus meninggi.

Kurangnya asupan gizi bagi ibu hamil, kurangnya pemahaman tentang konsep gizi yang dibutuhkan anak, tidak tersedianya sarana sanitasi yang baik dan sejumlah persoalan lainnya hingga masalah BPJS Kesehatan menjadikan masalah stunting di daerah pedalaman seperti benang kusut yang sulit terurai.

Bukan hanya itu, sinergitas antar semua pemangku kepentingan di Desa dalam penanganan stunting belum terbangun dengan baik.

Salah satu contoh daerah pedalaman yang mengalami kesulitan dalam penanganan stunting adalah Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa, provinsi Sulbar.

Secara geografis, Kecamatan Tabulahan berada di perbatasan Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamasa yang terdiri dari 14 Desa/Kelurahan.

Sebagian besar, penduduk Kecamatan Tabulaham berada di pelosok yang sangat terpencil.

Kepala Puskesmas Tabulaham, Iryanna SKM saat ditemui di ruang kerjanya mengungkapkan, jumlah penderita stunting di Kecamatan Tabulaham sebanyak 150 orang anak dengan usia Dua sampai Lima Tahun.

Selain itu, sebanyak 45 Ibu Hamil Kekurangan Energi Kalori (KEP) yang berpotensi melahirkan anak yang menderita stunting.

Iryanna mengatakan, pada tahun 2022 pihaknya telah melakukan sejumlah aksi dalam penanganan stunting melalui intervensi ibu hamil sejak 1000 hari pertama kehidupan.

“Tahun 2022 kemarin kita lakukan program pemberian makanan tambahan Ibu hamil yang kekurangan energi kalori dan pemberian makanan tambahan bagi bayi,” terang Irianna, Senin (30/1/2022).

Lanjut ia menuturkan, pihanya juga melakukan inovasi melalui program posyandu pada usia remaja setiap bulannya.

Namun, semua itu tidak cukup dalam mengurai rumitnya persoalan stunting di pelosok desa.

Dikatakan, Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi terus bertambahnya kasus stunting di wilayah kerjanyan itu. Hanya saja, kata dia, ada sejumlah persoalan yang dihadapi diantaranya, kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep kesehatan dan gizi yang dibutuhkan tubuh manusia.

“Penyakit stunting itu terjadi bagi anak yang kekurangan asupan gizi dalam jangka waktu panjang yang dimulai sejak dalam kandungan ibunya sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Karena itu, dibutuhkan pemahan tentang olahan makanan yang tepat dan bergizi bagi ibu hamil dan bayi, “ungkapnya.

Selain itu, belum tersedianya sarana sanitasi yang baik di pelosok desa menjadi faktor yang mempengaruhi terus bertambahnya jumlah penderita stunting.

Ia menyampaikan, di Kecamatan Tabulahan, dari 14 Desa, hanya 7 desa yang memiliki ketersediaan Sanitasi yang memadai atau masuk katehori Open Defecation Free.

Ia menambahkan, persoalan lain dalam penanganan stunting di pedesaan adalah layanan JKN kesehatan yang belum merata dimiliki masyarakat khususnya ibu hamil.

“Banyak ibu hamil di kampung-kampung yang tidak memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas atau Pustu karena tidak memiliki Kartu JKN, pada hal normal setiap ibu hamil minimal 6 kali memerisaksakan kehamilannya ke fasilitas kesehatan terdekat,” pungkasnya.

Disisi anggaran, kata Irianna, biaya penanganan stunting dianggarkan melalui dana desa, namun faktanya, masih banyak petugas kesehatan di desa yang ditugaskan menangani stunting mengeluh karena insentifnya tidak dibayarkan.

“Pada kesimpulannya sinergitas dalam penanganan stunting di pelosok desa belum terbangun. Dibutuhkan kebersamaan dan kekompakan karena penanganan stunting bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan tetapi semua pemangku kepentingan di Desa, ” tutup Iryanna.

(NSP-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *