Akademisi Unsulbar, Azriel Pualilin. Foto : Duk. Pena.
MAJENE,PS – Presiden Prabowo mewacanakan isu perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung ke pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Wacana ini mendapat respon dari berbagai kalangan, salah satunya disampaikan akademisi Unsulbar, Azriel Pualilin.
Dosen Fakultas Hukum Unsulbar itu mengatakan, wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah didasarkan pada beberapa faktor diantaranya, kepercayaan atas pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilukada dan efisiensi anggaran yang dianggap membengkak.
“Saya pertegas bahwa substansi dari kontestasi politik adalah election atau pemilihan. Dalam realitasnya, secara normatif dalam konstitusi kita UUD 1945 itu jelas sudah di amanatkan terkait dengan adanya hak untuk memilih dan dipilih. Secara absolut rakyat tetap mempunyai hak untuk menyatakan suaranya dalam menentukan pilihannya masing-masing,” ucap Azriel, Minggu (22/12/2024).
Dikatakan, dalam hal wacana mengubah sistem pemilihan kepala daerah, tentunya perlu mengkaji terlebih dahulu terkait beberapa faktor seperti,
kemanfaatan dan rasa keadilan, bagaimana respons masyarakat jika hak suaranya tidak dipergunakan seperti dalam teknis pemilu yg diadopsi sejak adanya UU pemilu, apakah benar efisien penggunaan anggaran jika pilkada dilakukan oleh DPRD, apakah kualitas pemilihan oleh DPRD nantinya akan lebih baik untuk keberlangsungan pemerintahan dengan mengurangi kuantitas sistematika pemilu dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang harus menjadi pertimbangan pemerintah sebelum wacana ini betul-betul diajukan ke DPRD.
“Semuanya harus dikaji dengan baik tanpa harus merugikan rakyat terkhusus hak atas penyampaian aspirasi masyarakat melalui hak suara,” ucapnya.
Azriel menjelaskan, wacana perubahan sistim pemilihan kepala daerah jika benar-benar terwujud maka bisa saja wacana berikutnya perubahan pemilihan presiden.
“begitupun juga ketika menilik pada Pemilihan Presiden (Pilpres), jika ada kemunduran sistem, maka bisa saja Pilpres nantinya akan kembali diakomodir oleh MPR,” ungkapnya.
Olehnya itu, kata Azriel, penting sekali mengkaji lebih jauh soal wacana perubahan tata cara penyelenggaraan Pilkada karena sangat berkaitan dengan otonomi daerah yang dimana akan ada perubahan penuh ketika wacana ini disetujui. Salah satu hal untuk menyiasati wacana perubahan Pilkada adalah evaluasi anggaran yang dipergunakan selama kampanye.
Mengapa anggaran kampanye membengkak? Faktornya banyak, seperti cost politik yang sangat tinggi untuk “membeli” parpol, money politic ke konstituen melalui timses, biaya kampanye, pertemuan sampai deklarasi Paslon yang tidak main -main jumlahnya, dan lain sebagainya.
“Saya kira semuanya bisa dievaluasi kembali untuk meminimalisir praktek korupsi pada berbagai sektor ketika Paslon terpilih nantinya, sebab yang memotivasi korupsi salah satunya adalah pengembalian dana pribadi pengganti biaya kampanye. Hal ini sudah menjadi lazim dalam kontestasi politik maupun setelah menduduki jabatan,” Aterang Asriel.
Menurutnya, walapun perubahan sistim Pilkada masih sebatas wacana, namun menarik untuk dibahas karena visi kampanye presiden Prabowo dan Gibran salah satu point penting didalamnya adalah kembali ke UUD 1945.
“tentunya agar pembahasan lebih objektif kita tunggu wacana ini sampai ke DPR. Kini saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk berpikir seperti apa idealnya pemilihan kita kedepan sehingga perlu menghadirkan akademisi, politisi, praktisi dan kalau perlu mengundang masyarakat untuk melahirkan sistim Pilkada yang paling tepat,” ucap Azriel. (Ns-01)