KAMMI Kritik DP3A Soal Kasus Pencabulan Anak di Majene: “Catatan Merah Perlindungan Anak”

Sekretaris jenderal KAMMI Mandar Raya, Rabiah Al Adawiah. Foto : duk. Pena. 

Majene,penasulbar.com – Seorang ayah di Kabupaten Majene diduga tega mencabuli anak kandungnya sendiri, sebuah peristiwa tragis yang kembali membuka luka lama soal perlindungan anak di Indonesia. Kasus ini sontak menyita perhatian publik setelah mencuat di media sosial, namun reaksi dari instansi terkait justru menjadi sorotan tersendiri.

Sekretaris jenderal KAMMI Mandar Raya, Rabiah Al Adawiah , dengan tegas mengkritik lambannya respons Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) setempat dalam menangani kasus ini. Menurutnya, kasus seperti ini terjadi karna kurangnya edukasi terhadap masayarakat tentang seks

“Tentunya hal ini kembali menjadi catatan merah untuk DP3A. Ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih minim edukasi soal seksualitas. Bahkan rumah, yang kita anggap sebagai ruang aman, kini tak luput dari predator yang memburu kehormatan perempuan, “ujar Rabiah.

Rabiah juga menyebut bahwa kasus serupa tidak lagi bisa dianggap sebagai insiden langka.

“Kasus-kasus seperti ini tidak hanya sekali atau dua kali, tapi sudah marak terjadi di Majene. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi perempuan justru berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan,” imbuhnya.

Dari informasi yang dihimpun, pelaku diduga telah melakukan tindakan pencabulan terhadap anak kandungnya sendiri secara berulang. Ironisnya, perbuatan bejat tersebut baru terbongkar setelah korban menceritakan kejadian kepada pihak keluarga lain, yang kemudian melaporkannya ke polisi. Kasus ini kini sedang ditangani aparat penegak hukum di Majene.

Korban kini mendapatkan penanganan awal, namun pendampingan psikologis dan hukum dari lembaga resmi baru berjalan setelah tekanan publik semakin kuat.
Ia mendorong agar pendampingan terhadap korban dilakukan secara masif dan berkelanjutan, mengingat korban dalam kasus ini diduga telah mengalami kekerasan sejak usia 15 tahun hingga akhirnya melahirkan seorang anak dari pelaku.

“Bisa dibayangkan bagaimana traumanya korban. Pendampingan psikologis dan hukum harus benar-benar dijalankan. Ini bukan sekadar penanganan kasus, tapi pemulihan jiwa seseorang,” tegasnya.
Secara hukum, tindakan pelaku masuk dalam kategori kejahatan seksual terhadap anak, yang ditangani dengan payung hukum berlapis.

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak:Pelaku dijerat dengan Pasal 81, yang mengancam pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan hukuman penjara 5 hingga 15 tahun, serta denda maksimal Rp 5 miliar. Karena pelaku adalah ayah kandung korban, maka hukuman dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimal sesuai Pasal 81 ayat (3).

Ia juga mengimbau agar pemerintah daerah membentuk pusat krisis cepat tanggap di setiap kabupaten, dilengkapi dengan tenaga psikolog, pendamping hukum, dan hotline darurat yang aktif 24 jam.

Sekretaris Jendral KAMMI Mandar Raya kembali menekankan bahwa reformasi dalam sistem perlindungan anak mutlak dilakukan. Edukasi tentang seksualitas dan kesadaran hukum harus diperkuat sejak dini, terutama dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

“Harapan saya, hal seperti ini tidak lagi terjadi. Sebab perempuan layak hidup aman dan damai. Di mana pun mereka berada, perempuan berhak atas kenyamanan dan terbebas dari rasa takut kehilangan kehormatan,” tutup Rabiah.

Kasus ini menegaskan bahwa sistem perlindungan anak dan perempuan di Majene perlu dibenahi secara menyeluruh. Bukan hanya reaksi cepat yang dibutuhkan, tetapi tindakan nyata yang berkelanjutan, termasuk dalam edukasi, deteksi dini, serta rehabilitasi korban.

Pemerintah daerah, DP3A, dan lembaga hukum didesak untuk tidak hanya hadir dalam konferensi pers, tapi bekerja membangun lingkungan yang benar-benar aman bagi anak-anak dan perempuan—mulai dari dalam rumah sendiri. (Fj-ns)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *