Mamuju, penasulbar.co.id – Internasional Women’s Day (IWD) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia diperingati setiap tanggal 8 Maret. Perayaan yang cukup spesial bagi kaum perempuan itu telah diperingati selama kurang lebih satu abad.
Perayaan ini berawal dari kongres pertama yang berlangsung pada 1911 dan turut dirayakan secara resmi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak 1975.
Peringatan hari perempuan sedunia sendiri dilakukan bertujuan untuk merayakan pencapaian perempuan di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta bentuk seruan untuk mempercepat kesetaraan gender.
Ketua Bidang (Kabid) Pemberdayaan Kapasitas Perempuan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Mamuju, Merry Glorifi mengungkapkan, era moderen sekarang, perempuan seringkali menjadi topik pembahasan serius. Hal ini dipicu oleh perlakuan tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.
“Perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap bumi dan cenderung tidak memiliki peran aktif dalam setiap peradaban. Satu kebiasaan negatif yang berkembang di kalangan masyarkat yang membungkam dan meredupkan pergerakan perempuan,” kata Merry, Jumat (8/3/2024).
“Perilaku ini berangkat dari sudut pandang yang ditekankan pada fisik dan perbandingan tugas yang diatur dari sistem yang sudah sangat lama. Itu terus berkembang dan akhirnya banyak yang sadar bahwa kodrat laki-laki dan perempuan sebenarnya sama sebagai manusia tanpa harus interpensi tertentu berdasarkan fisik dan sistem,” sambungnya.
Anehnya, kebanyakan orang tidak sadar keadaan yang berlarut ini berangkat dari sudut pandang laki-laki yang terus mengikuti sistem lama, melemahkan, bahkan membunuh karakter perempuan.
“Laki-laki memiliki satu pandangan bahwa perempuan hanyalah kebutuhan ranjang, lemah, makhluk yang diatur dan tidak memiliki kecerdasan intelektual,” ujar Merry.
Namun, sejalan dengan perkembangan zaman setelah gerakan feminisme merambat ke negara-negara besar, banyak yang sepakat bahwa keseteraan merupakan poin penting peradaban umat manusia.
“Pada dasarnya, ketidak seimbangan itu diperankan begitu identik pada laki-laki yang terus-menerus berusaha menghegemoni pikiran perempuan. Oleh karena itu, perempuan menjadi lemah dalam anggapan peradaban karena dipengaruhi oleh kebenaran yang salah dalam masyarakat,” ungkapnya.
Menurutnya, kesadaran kesetaran harus diperbaiki dalam paradigma atau sudut pandang laki-laki terlebih dahulu. Laki-laki harus menyadari bahwa budaya patriarki masa lalu atau pun masa sekarang merupakan satu pelanggaran yang tidak etis dan berpotensin menghambat peradaban manusia.
“Hanya dengan perubahan pola pikir laki-laki yang dapat merubah budaya patriarki menjadi perjuangan kebebasan perempuan. Oleh karena itu dalam setiap diskusi yang membahas tentang kesetaraan gender seharusnya yang dihadirkan adalah pembicara laki-laki yang memahami sejara pergerakan feminisme. Tetapi apa yg terjadi sekarang, justru perempuanlah yang dijadikan sebagai narasumber karena dianggap dapat memperjuangkan hak-haknya,” pungkas Merry.
Hak perempuan untuk mencapai kebebsannya adalah fundamental. Tidak ada yang dapat membatasi, menolak, apalagi memberikan tindakan diskriminasi. Hanya saja, semua itu harus dibangun dari kesadaran revolusioner yang harus dimulai dalam pikiran laki-laki kemudian secara tidak langsung akan mempengaruhi pola hidup dan prilaku perempuan.
“Banyak yang menganggap kesetaran itu haruslah diperjuangkan oleh perempuan sendiri. Pandangan itu amatlah keliru karena tidak mempertimbangkan history masa lalu yang permulaannya seluruh kesalahan diberangkatkan dari prilaku laki-laki,” tuturnya.






